Senja
itu, bertemankan gerimis, kau dan aku bertemu. Raut wajahmu yang teduh,
dibasahi tempias hujan. "Aku suka hujan", katamu. Kau lalu memperkenalkan diri sebagai Liku. Aku
lebih suka memanggilmu Gadis Hujan. Sejak itu, kita kerap menghabiskan waktu
bersama. Hampir setiap hari. Dari kebersamaan itu, aku mendapati alasan mengapa
engkau begitu menyukai hujan.
“Hujan bisa menyamarkan air mata”.
Dua tahun sejak pertemuan itu, di tempat yang sama, senja yang sama dan hujan
yang sama. Petrichor menusuk ke indera penciumanku. Kudapati lagi wajah yang
sama. Tunggu, itu bukan kamu. Bukan Gadis Hujan-ku. Sudah dua minggu sejak
terakhir kita bertemu. “Aku Lika, saudara kembarnya. Liku sudah pergi,
jauh”. Lalu hening.
Aku berjalan di bawah hujan, membiarkan air mata ini menyatu dengan rinainya. Kini aku tahu mengapa engkau, Gadis Hujanku yang kini telah tiada sangat suka berjalan di bawah hujan. Dan di sinilah aku, mencoba merelakan kematianmu dalam hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar