Minggu, 28 September 2014

Kisah Sang Pengelana

Tak seperti pengelana lainnya, pengelana yang satu ini memilih namanya tak dikisahkan. “Kehidupan seseorang hanyalah untuk dirinya, begitu pula namanya”, begitu pikirnya. Perjalanannya dimulai saat ia merasa bahwa berkelanalah satu-satunya jalan agar ia mampu menentukan jalan hidupnya sendiri, dengan jalan yang ia pilih sendiri. Maka dimulailah perjalanan sang pengelana, mencoba menembus hutan yang menyesatkan semua pengelana yang telah lebih dulu memulai perjalanan mereka. Teman setia sang pengelana, peliharaan yang telah ia rawat bertahun-tahun, seekor singa jinak namun tetap tak kehilangan nalurinya, akan menemani perjalanan ini.
Sang pengelana memasuki hutan dengan perasaan was-was, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa perjalanan ini memang perlu ia lakukan. Toh, ia takkan kesepian. Singa peliharaannya akan selalu menemaninya dalam perjalanan menembus hutan ini. Hutan yang rimbun dengan pepohonan tinggi menjulang, hampir sempurna tak membiarkan sinar mentari menembus dedaunannya. Sang pengelana menghirup nafas dalam-dalam, aroma tanah lembab nan menenangkan memenuhi paru-parunya. ‘Perjalanan ini sepertinya akan lebih menarik, hutan ini tak seseram orang ceritakan. Lihat saja pepohonan ini, dengan dedaunannya yang hijau, udara segar serta sejuk. Mungkin saja cerita seram itu dibuat agar tak ada yang menjamah hutan ini”, batin sang pengelana sambil mengelus punggung singa peliharaannya.
Perjalanan mereka menembus hutan telah berlangsung cukup lama. Siang dan malam di dalam hutan yang terlihat tak berujung hampir saja membuat sang pengelana putus asa. Namun sang pengelana selalu berhasil mengatasi semua godaan dan melanjutkan perjalanannya satu hari lagi. Hingga di suatu siang, saat sang pengelana baru saja akan beristirahat, sekelompok pemburu mencoba menangkap singa peliharaannya. Pertarungan sengit yang tak seimbang pun terjadi. Seorang pengelana berbadan ringkih yang tak bersenjata melawan tiga orang pemburu profesional dengan senjata lengkap. Tujuan para pemburu itu hanya satu, menangkap singa peliharaan sang pengelana. Singa peliharaan sang pengelana pun tak tinggal diam. Ia membantu sang pengelana melawan para pemburu itu. Namun itu tak berlangsung lama. Perjalanan berhari-hari telah membuat fisik sang pengelana dan singa peliharaannya terkuras. Para pemburu dengan mudahnya mampu mengalahkan sang pengelana yang kini terbaring lemas dan penuh luka. Sang singa yang awalnya mampu merepotkan pemburu, kini hanya bisa mengaum lemah. Pemburu itu telah menguasai singa peliharaan sang pengelana sepenuhnya. Setelah memastikan sang pengelana tak mampu lagi melawan, mereka pun membawa singa itu pergi. Singa itu hanya terdiam membiarkan dirinya dibawa jauh dari sang pengelana.

Tinggallah sang pengelana terbaring sendiri dengan lukanya. Singa yang telah ia rawat, yang telah menemaninya dalam perjalanan jauh demi mencari tujuan hidupnya kini telah direbut pemburu itu. Luka-lukanya tak cukup parah, namun butuh beberapa hari agar ia mampu melanjutkan perjalanannya. Ramuan dari tumbuhan di dalam hutan sepertinya cukup membantu. Setelah merasa cukup pulih, sang pengelana kini bersiap melanjutkan perjalanan. Semuanya sama ketika ia memulai perjalanan ini, namun kali ini ia sendirian. Melewati siang yang panjang dan dinginnya malam di tengah hutan tanpa ada yang menemani. Hari demi hari berlalu, perjalanan sang pengelana masih tak kunjung usai. Kali ini sang pengelana lebih tegar. Saat tengah berpikir bahwa ia akan menyelesaikan perjalanan panjang melewati hutan nan sepi ini sendirian, sang pengelana melihat sesosok bayangan yang tiba-tiba muncul dari rimbun dedaunan hutan.

Selasa, 16 September 2014

TAHU

Perih
Pedih
Sedih

Harusnya aku tahu, aku bukanlah satu-satunya
Harusnya aku tahu
Atau mungkin aku lebih baik tak tahu
Kini aku tahu aku luka
Walau aku lupa luka itu apa

Terkadang tak tahu banyak ada baiknya
Aku tahu kau tahu
Walau mungkin kau tak tahu aku tahu

Aku tahu aku perih
Aku pun tahu kau happy
Bersama dia yang tahu kamu
Bukan bersama aku yang mencoba tahu kamu

Harusnya dulu aku tahu
Mungkin kamu yang harusnya tahu aku
Mungkin dia juga harus tahu

Kini aku tak tahu,
Dan kalian tak butuh untuk tahu

Rabu, 10 September 2014

Seorang Gadis dan Sebuah Pertanyaan

Terkadang sebuah pertanyaan menuntun kita kepada hal yang tak terduga. Sama seperti pertemuan dengannya yang diawali oleh sebuah pertanyaan. Tepatnya, dia yang bertanya kepadaku, seorang gadis yang bertanya kepada perjaka yang belum pernah ia temui sebelumnya. Mungkin kami pernah bertemu sebelumnya walau tak disadari. Ah, mengapa aku masih saja teringat padanya? Bukannya tadi aku bercerita tentang pertanyaan? Well, pertanyaan akan selalu ada meskipun ada sebagian yang tak memiliki jawaban. Sekarang, ijinkan aku bertanya pertanyaan sederhana, “pernahkah kamu merasa bahagia dan sedih di saat yang bersamaan?” Tak usah kamu jawab, aku tak butuh jawaban.
Hari ini aku seharusnya merasa bahagia, adikku akan menikah dengan perempuan yang ia pilih. Meski pertemuan mereka belum lama, tampaknya mereka sudah merasa cocok. I should be happy for him. Namun, saat ini untuk tersenyum pun seolah menjadi hal yang sangat sulit. Saat adikku mendapatkan yang ia inginkan, aku baru saja kehilangan seseorang. Mungkin hilang bukan kata yang tepat menurutmu, tapi bagiku ia memang hilang dan tak akan bisa kembali. Ya, gadis yang kuceritakan padamu di awal, ia telah hilang. Jadi, katakan padaku, apakah aku harus bahagia karena adikku akan menikah, ataukah justru bersedih karena kehilangan seorang gadis? Sebuah kontradiksi yang mungkin tak pernah terbayangkan.


Let me introduce her to you. Gadis itu memang telah menjadi bagian dari diriku, maksud saya, dia pernah menjadi bagian dari diriku. Gadis dengan rambut ikal sebahu itu memiliki senyuman yang membuat banyak lelaki iri padaku. Senyuman yang mampu menghangatkan hati yang paling dingin, menyejukkan hati yang bergejolak, meruntuhkan tembok ego. Gadis yang selalu menatap dalam ke mataku. Ya, ia paling suka menatap mataku yang ia anggap mata dengan warna cokelat yang jernih. Seperti yang telah kukatakan padamu, kami bertemu karena sebuah pertanyaan. Aku pun terkadang masih bertanya-tanya mengapa ia bertanya padaku. Tapi setidaknya, pertanyaan itu menuntun kami, dia dan aku, kepada rasa yang sama, rasa tanpa pertanyaan. Hanya ada senyuman dan tatapan, tak pernah ada satu pun pertanyaan. Mungkin kalian bertanya, tapi itulah kami. Merasakan segala sesuatunya tanpa pertanyaan. Kini ia tak lagi di sini dan tak akan pernah kembali lagi. Semoga engkau tak bertanya karena akupun tak pernah bertanya. Yang aku tahu kini ia masih hidup dengan senyumannya. Dan kini ia telah bahagia. Meski berat, aku berharap ia akan terus bahagia. Bahagia bersama adikku, yang akan menjadi suaminya.